Potret ruang kelas dengan “atap ambruk” di banyak daerah pedalaman Indonesia adalah cerminan kegagalan serius dalam pemerataan infrastruktur pendidikan. Kondisi bangunan yang lapuk, dinding retak, dan atap yang sewaktu-waktu bisa runtuh, secara langsung mempertaruhkan Nyawa Siswa dan guru setiap harinya. Lingkungan belajar yang tidak aman ini menghambat kualitas pendidikan.
Ancaman terhadap tidak hanya datang dari bencana alam, tetapi dari usia bangunan yang tua dan kurangnya perawatan. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) seringkali tidak cukup untuk menutupi perbaikan infrastruktur skala besar. Akibatnya, banyak sekolah terpaksa beroperasi dalam kondisi yang jauh dari standar kelayakan, menciptakan yang tinggi.
Ketidaklayakan ini berdampak buruk pada semangat belajar. Ketika mereka harus fokus pada potensi bahaya atap yang bocor atau lantai yang rapuh, konsentrasi belajar otomatis terganggu. Ruang kelas yang rusak juga memengaruhi citra sekolah, membuat merasa bahwa pendidikan yang mereka terima.
Masalah ini menjadi studi kasus klasik tentang disparitas pembangunan. Sekolah-sekolah di perkotaan menikmati fasilitas modern, sementara di pedalaman harus bertaruh dengan bahaya fisik. Ketimpangan ini melanggar hak dasar untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan aman, sebagaimana dijamin oleh undang-undang.
Penyelesaian masalah yang mengancam Nyawa Siswa ini membutuhkan intervensi pemerintah daerah dan pusat yang lebih terencana dan transparan. Pendataan kerusakan sekolah harus akurat dan alokasi dana perbaikan harus tepat sasaran, tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga perawatan rutin yang berkelanjutan.
Inisiatif dari masyarakat dan donasi swasta seringkali menjadi penyelamat darurat, namun tanggung jawab utama untuk menjamin keselamatan Nyawa Siswa tetap ada di tangan negara. Membangun kembali sekolah bukan sekadar proyek konstruksi, tetapi investasi krusial untuk masa depan sumber daya manusia Indonesia.
Transparansi anggaran perbaikan adalah kunci untuk memastikan dana benar-benar digunakan untuk melindungi Nyawa Siswa. Pengawasan dari komite sekolah dan masyarakat setempat diperlukan untuk mencegah praktik korupsi yang sering menghambat proyek rehabilitasi, memastikan bahwa kualitas bangunan sesuai standar keamanan.
Menjamin setiap Nyawa Siswa belajar di ruang kelas yang aman adalah kewajiban moral dan konstitusional. Potret “atap ambruk” harus diubah menjadi cerita tentang komitmen negara terhadap pendidikan yang merata, memberikan setiap Nyawa Siswa kesempatan untuk belajar tanpa rasa takut dan bahaya fisik.
